Selasa, 03 November 2009

SITI MUNAH, OH SITI MUNAH

Rabu yang indah di kelas kenangan. Kenapa aku katakan indah? Kenapa kukatakan kenangan? Karena pada pada hari Rabu itu hanya memuat mata pelajaran yang berbau sosial dan budaya. Di kelas ini membuatku selalu terkenang tentang rangkuman terumus sendiri di benakku, yakni ‘WARNA’.

Aku bukanlah siswa yang jago mata pelajaran sosial, juga bukan seorang yang bercita-cita menjadi budayawan. Kelas di hari Rabu itu berkesan oleh kehadiran sosok siswi misterius di bangku sebelahku. Minggu ke dua ketika aku telah menetapkan bahwa bangku urutan pertama dan kedua dari sebelah kiri sebagai tempat dudukku yang tetap bersama sepupuku Simon Leonardo. Tak tahu kenapa hari Rabu itu Simon tak hadir, dan yang duduk disampingku seorang cewek yang kutahu dia siswi yang tadinya duduk di sudut paling belakang. Anehnya lagi dia seperti tak ada pada hari-hari lain dan siswa-siswi di kelas pun seperti tak menganggap dia ada. Ia pun sepertinya tak suka berkenalan dan bergaul. Padahal kalau diperhatikan dia cewek yang sangat sensasional, begitu menawan.

Ia tersenyum anggun di sampingku seraya mengulurkan sebuah buku tulis penerbit Bintang Obor. Bagaikan tersihir aku dalam kebekuan, menerima tanpa berkomentar dan menjadi pendengar yang baik setiap ia mengeluarkan suaranya yang pelan tapi jelas di telingaku. “Evan, baca ya nanti kalau uda pulang sekolah tulisanku ini.” Sesekali melirik ke arah Prof Ningrat yang sedang menerangkan ‘Pembagian Zaman’. Sementara itu mataku tak beranjak dari ukiran huruf yang merangkai kata “Siti Munah” dan “Pengenalan Dunia Melayu.”

***

Kamis pagi, aku menemui sepupuku yang duduk manggut-manggut mendengarkan musik dari MP3 yang ada di handphone-nya. Lalu melepas handsfree dari kedua telinganya setelah melihatku.
Aku dengan semangat duduk di sampingnya seraya memegang pundaknya, “Mon, lo tau gak cewek bernama Siti Munah di kelas kita? Ceweknya anggun, bernuansa Melayu banget.”

Simon sepertinya tidak menangkap kalimat yang kulontarkan. Tanpa memberi kesemptan Simon untuk menempelkan punggung telapak tangannya ke keningku, aku tanpa mengenakan rem menjelaskan kemisteriusan Munah. “Gimana gak unik, Mon! Di sekolah yang bertaraf internasional ini, sekolah elit kayak gini, eh dia malah begitu nyaman sama seragam yang ia desain lain dari yang lain. Em…em…o ya, kalau gak salah baju kurung, aku masih ingat pada bacaan dari tulisan tangannya…”

“Akh lo, begituan aja ingat!” Simon menampik keseriusanku. Aku tak peduli.
“Trus, Mon, kerudungnya dari selendang putih yang begitu lembut menutupi kepalanya dan membiarkan wajah yang bak purnama itu menyaingi kelembutan kerudungnya. Keningnya yang tak terlalu luas itu dipagari anak rambut yang hitam legam, hidungnya…”

“Bagaikan kuncup cengkeh, alisnya bak semut beriring, terus dagunya laksana lebah bergantung… gitu! Hebat juga tu cewek bikin kamu jadi pujangga,” menyela.
“Bisa aja kamu, Mon, padahal aku cuma mau bilang, mancung banget.” “Alah… kayaknya lo kena syndrom Malay akut dech. Aku kantin dulu, bosen denger ocehan cewek Melayu gak jelas!” Simon berlalu dengan kejam..

***

“Evander, suatu saat kau pasti menjejaki tanah bermarwah kiasan, gerakan perempuannya lemah gemulai, bertutur sapa mendayu-dayu, mengikat tubuh dengan hijab.” Munah mengawali pagi Rabu yang ke lima, artinya ia menyodorkan buku tulisan tangannya yang ke lima.
“Gadis Melayu…” Aku mendesah membaca judul yang tertulis pada buku bermerk Bintang Obor dari tangan Munah.

“Oh ya, mungkin ini buku yang terakhir kuserahkan di kelas ini. Aku merasa berdosa pada ke empat orang yang mulia itu karena telah mengajakmu berbual pada jam pelajaran mereka.”

Munah tersenyum misterius sambil beranjak dari sisiku, aku tertegun dengan pikiran yang tak menentu. Apa maksud gadis ini? Siapa dia? Kenapa dia begitu besar memiliki aura, mengapa aku mau saja menurutinya untuk membaca tulisannya yang berbau budaya, padahal bab satu buku antropologi saja tak pernah selesai-selesai kubaca.

***

Rabu berikutnya kujalani seperti hari Rabu sebelumnya, sebelum Munah hadir merasuki jiwaku. Munah tak pernah duduk di sampingku lagi. Dalam penasaran berbaur rindu yang membuncah, aku berharap perempuan keibu-ibuan itu hadir menyodorkan tulisan tangan selanjutnya. Tapi, Rabu ke Rabu di sampingku tetaplah Simon, keponakan kesayangan ibu yang selalu manggut-manggut dan terkadang terpejam menahan kantuk setiap kali kubercerita tentang Munah.

Penantianku tak berujung, hingga naik kelas 2 kuputuskan untuk murtad dari penantian itu karena aku telah menggunting pita di pintu sains.

***

Namun keputusan itu tak mampu membendung rasa penasaranku tentang isi tanah. Tanah? Melayu itu kan luas. Lagi pula pada buku pertama, Munah menuliskan; “Melayu itu bukan suku, bukan pula kepercayaan, melainkan kebudayaan. Budaya yang mengakar dan tumbuh bercabang-cabang. Jelasnya Melayu itu tumbuh bersub-sub. Ak-h…siapa Siti Munah? Apa dia cucu Koentjaraningrat? Sok tau banget tu cewek. Pakek acara misterius lagi! Atau… jangan-jangan dia siswi dari daerah Riau yang dapat beasiswa di sekolah ini? Lalu tertarik sama aku dan ngincar-ngincar aku? Ups, kok jadi narsis gini ya! Bisa jadi dia promosi atau memperbaiki citra budayanya di mata dunia, eh maksudnya lewat sekolah bertaraf Internasional ini.

Sambil menimang-nimang ke lima buku tulis Bintang Obor, pikiranku tak terputusnya memikirkan gadis berkerudung lembut itu. Tiba-tiba sepasang tangan merampas buku-buku itu.
“Pengenalan Melayu, Alam Melayu, Kekayaan Melayu, Adat Istiadat Melayu Gadis Melayu…” membalik satu persatu. “Benar kata Simon! Evan, buku ini harus Mama buang sayang. Mama gak ingin beasiswamu ke Jerman dari perusahaan Papa batal.”

“Ma… itu buku gak bakal ngalangi beasiswaku… .” Aku memelas.
Ibuku berlalu tanpa peduli permohonanku. Dari balik jendela dengan wajah murung kuamati ibu membakar buku-buku itu. Aku pun jadi uring-uringan, kalau sudah mengalami perasaan aneh dan tidak bisa tidur siang, aku jadi teringat laptop dan internet.

Lewat facebook, kutemukan nama unik di kotak chatting. Khairuddin, plus nomor handphone-nya. Ternyata sebuah nama orang yang memberikanku sedikit peluang untuk menelusuri jejak Munah. Din, ia menyarankan aku memanggil namanya. Aku pun menulis nama Siti Munah dengan maksud menanyakan apakah ia kenal. Ia membalas: Pekanbaru-kerinci-sorek-airmolek-rengat. Setelah itu dia offline. Ya…pasti dia Munah. Aha, saatnya bertualang! Pekikku seraya bergegas berkemas, memasukkan barang-barang yang kubutuhkan ke dalam ransel dan berlari hampir tertumbur ibuku yang sedang menyapu halaman. “Ma, Van ke Sumatera semingguuu aja. Da…da… Mama sayang…” tanpa menunggu komentarnya aku telah melaju dengan motor.

“Cihuiii, aku bakalan menyaksikan secara nyata tanahmu, Munah!” Lo-longku ketika meninggalkan bandara SSQ I.
Kegembiraanku berubah kecewa ketika hampir memasuki daerah tujuan, sedikit pun tak kutemukan nuansa yang digambarkan Munah. Malah dari jendela bus kusaksikan seorang ibu bertengkar hebat dengan seorang gadis, sepertinya anaknya. Aku benar-benar merasa dikacangin mentah-mentah oleh Munah.
“Munah adikku, Van. Dia banyak bercerita tentang sekolah dan dirimu.” Din datang dari dapur seraya membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring irisan bolu kemojo.

Aku tersentak dari mengamati sebuah rak-rak kaca berisi buku-buku dan piala serta piagam-piagam bertuliskan nama Siti Munah. “Jadi Munah itu benar-benar ada?”

“Ya. Enam bulan lalu. Sekarang dia hanya seonggok isi di rak-rak itu.” Menunjuk etalase yang kuamati tadi. “Maafkan kami telah merepotkanmu.” Din seperti mengetahui kekecewaanku. Ia menyerahkan secangkir teh, lalu membuka laci di sudut etalase. “Munah berpesan agar aku memberikan tulisan terakhirnya padamu. Mungkin kalau kau tak kemari, aku yang akan menyerahkannya di sekolahmu.”

Kubuka buku Bintang Obor bersampul coklat itu, di halaman pertama kubaca: ‘Evan…baca lagi ya buku terakhir dariku ini. Semua tentang Melayu persi SITI MUNAH itu sungguh ada, ada seperti aku hadir di sampingmu pada hari-hari Rabu lalu. Melayu itu laksana perhiasan yang pudar dan menanti untuk disepuh. Aku memiliki tekad untuk me-nyepuhnya. Tapi sayang, eh, o ya bukan maksud untuk mengamanatkan padamu. Sama sekali tidak, Van. Kamu hanya cowok yang kena imbas dari keisenganku. So, don’t u feel, all this a request for u. Kamu hanya perwakilan dari sekian ribu siswa untuk mengetahui bahwa di Hight International School kita, ada cewek Melayu yang cakep, he…he…

Bergegas kututup buku, dan pamit pulang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar